Sunday, January 22, 2012

You stay, It runs!



Pernah dikejar selosin pit-bull yang tengah menstruasi? Saat kamunya mulai lelah, dianya masih semangat! Kamunya jatuh, dia tetap mengejar mesra. Kamunya mati, dia baru berhenti. Seperti itulah mungkin saya sekarang ini. Bukan, bukan sedang dikejar anjing, tapi dikejar detik. “Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan-Nya Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui” (6: 96).  See, planet kita yang sedang menuju extinction inipun diatur waktu dan berjalan dinamis, so do I. Mencoba nahan nafas barusan selama 12 detik, in a well hydrated condition tentunya, dan itu menyiksa sekali. Berharap waktu berhenti 12 detik saja, tapi ternyata waktu terus berjalan tanpa ampun seperti argo Taxi di tengah macetnya Dago saat weekend. Saya kira waktu berdetak sesuai dengan birama nafas saya, tapi kenyataannya tidak begitu. Semua tentang waktu selalu terlupakan namun ajaib dan menakjubkan. Sewaktu di dalam rahim, Tuhan sudah menuliskan semua takdir manusia. Sedih karena kehilangan tamiya saat pamer di SD, senang saat gebetan pertama mau diajarin simple present tense, malu karena di setrap guru fisika karena lupa bawa buku Bob Foster, atau saat memuji wanita yang menurut saya sempurna (tapi dia menampiknya), semuanya sudah tertulis jelas. Sungguh sangat detail sekali takdir itu dan juga otentik pada tiap individu, tiada seorangpun bernasib persis dengan orang lain, waktumu untukmu dan waktuku untukku. Dari awal saya menghirup nafas (saya sudah bernafas selama 25 tahun ternyata. Bosan? Tidak!) hingga akhirnya saya melepas nafas yang entah kapan, juga sudah tertulis jelas ditautan takdir. Urusan waktu manusia, tiada yang prestige dalam Kosmologis Tuhan. Sudah dari sananya, bila sesuatu yang diambil, maka akan dikeluarkan kembali (yup, you can relate to the fart system-up inhale: down exhale). Sesuatu yang naik, maka akan turun, yang muda akan menua dan yang hidup akan mati. Pernah merasa seperti ini:”perasaan baru kemaren pake seragam putih biru, ikut upacara, flirting-flirting, latihan pramuka di akhir pekan, deg-degan UN, dll”, pernah? Memang kadang waktu bersiklus unconsciousness-ly, serasa baru kemarin tapi pas nyadar tau-tau istri anda pulang dari pasar bawa belanjaan 3 karung, pake daster dan roll rambut, bawa anak anda yang ingusnya udah kaya lilin. Ada yang hilang? Tidak sepertinya, waktu anda sangat presisi dan tidak mungkin hilang hanya secara (cognitive) psikologis saja anda mnerasa seperti itu. Terkadang ke-obsesifan yang tidak tercapai juga membuat anda (merasa) kehilangan waktu. Semua sudah tertakdirkan dan terhitung waktu, jangan menyesal atas urusan waktu, it is wasted away. Takdir itu mungkin seperti sebuah parsel berisi aneka ragam cerita, dan dibawahnya tersimpan jam yang menghitung mundur. Beda dengan jam dinding pada umumnya yang menghitung maju, jam yang satu itu justru menghitung mundur. Setiap manusia sudah sepaket dengan countdown-clock tersebut saat dilahirkan. Di set sesuai dengan jangka hidup atau usia pemilik parsel tersebut. Ada yang di set 50 tahun, ada yang 60 tahun, ada juga yang 114 tahun, bahkan ada yang di set 1 hari atau 1 jam. Namun, siapa yang tahu tentang jangka waktu penyetingan tersebut? No one! Waktu kadang tidak berpihak, tapi kadang juga sangat indah. Ketidakberpihakan waktu merupakan hasil dari sebuah ketidaksiapan kita untuk menjadi sesuatu yang lebih baik. Sudah lah, apapun yang kita lakukan TIDAK AKAN PERNAH MENGHENTIKAN WAKTU ATAU MEMUNDURKAN WAKTU! Kita diam pun, waktu berjalan. Dia tidak pernah tidur, dia pergi kemanapun kita pergi. Waktu kita tidak banyak dan tidak lebih panjang dari waktu antara Maghrib menuju Isya. Meski waktu terlihat bersiklus-mereka disana menyebutnya Ouroboros atau YinYang-siklus itu bukan mengulang tapi menambah. Apapun yang kamu lakukan, dikenai waktu, loh. J

Tuesday Comes to Everyone the Same



Anyissss telat!! Berangkat terlalu siang make angkot Stasion-Dago mah sami sareng memacetkan diri di Cikapayang, Dukomsel dan BIP! Belum lagi pas turun angkot, kudu jalan kaki dari bawah jembatan penyebrangan-yang pas di jalan Stasiun Timur menuju Stasiun Hall-karena si angkot sekarang tidak diperbolehkan masuk sampai area stasiun. 10 menit jalan kaki, baju lembab berhambur keringat, hah heh hoh ga puguh dan injury time membeli tiket pastinya. Buru-buru beli tiket karena KRD Patas Baraya Geulis biasanya on time. But ah, yessss, I was saved by the Peron-hero who said that the train was delayed for 10 minutes, Alhamdulillah, amin (mungkin jika diperkenankan saya akan sukuran 3 hari 3 malam di dekat peron atas keterlambatan ini. Well, shall I continue the story??). Langsung masuk Stasiun dan duduk di kursi jalur 2 sambil mengeja nafas yang terengah-engah bak ibu-ibu hamil tengah bukaan 12 disuruh push-up. Mencari Aqua (okay, air mineral. Tapi merknya Aqua) di dalam tas, lalu menenggaknya dengan penuh birahi beberapa milliliter, dan yah, it was terrific Tuesday!! Buka hape, cek facebook bisi ada notif, wall atau inbox. Ada message ternyata, sebuah klarifikasi terkeren yang pernah saya terima dari seorang perempuan. Sekalian puter mp3 juga biar tenang dan memposisikan kedudukan di kekursian agar ke-cool-an menyebar ke seluruh stasiun biar para penumpang lain merhatiin. (Dude, why you so serious, huh??)
Kereta datang, si Kuning-Biru yang ditunggu ratusan ribu, uhm, puluhan ribu deh, uhm, ribuan ketang, uhm, no, yah, well, hanya beberapa gelintir orang dengan orientasi yang berbeda-beda di benak mereka. Ada perempuan ber-seragam cokelat dengan atribut PEMKOT Uganda (ah, bukan koq, bukan Bandung) serta ber-nametag hitam di dadanya, pasti dia sedang pura-pura sakit dan bilang mau cek ke Santosa padahal bolos. Si Bapa di ujung sana yang berkemeja putih, berdasi biru dan membawa tas kulit yang dahinya berkerut membaca koran Kompas, pasti tukang service jam tangan di Padalarang. Mba-mba berbaju Timnas ketat dan ber-celana blue jeans hitam dengan dandanan menor seolah “bedak adalah hidupku, lipstick adalah nafasku” pasti debt collector sebuah asuransi. Dan mas-mas berjaket kulit lusuh di deket pintu otomatis bisa dipastikan copet (tapi bawa helm. Ah gampang, kalo bukan copet ya berarti tukang ojeg. sip)! Kereta berjalan dinamis, semakin cepat, aku merasa ini Shinkansen, oh tidak, aku mungkin terlemapr ke Jepang, mungkin yang tadi kumasuki bukanlah toilet tapi mesin waktu, oh, oh, tidak, oh, tolong aku, Miyabi (Ya, Ya, Ya..I know, I’m talking sh*it again). Di dalam sini sepi tanpa ada percakapan, semua orang sibuk dengan dunianya sendiri. Kereta terus berjalan menembus Ciroyom, Andir, dan Cimindi sebelum kemudian berhenti di Cimahi. Saya buka facebook (lagi), sekadar nge-cek notif, tapi tidak ada satu pun. Padahal sudah tiga hari ini saya tidak buat status ataupun komen di post siapapun, aneh memang. Penjual Tahu Sumedang, Minuman dingin, dan snack hanya menawarkan seadanya seperti yang “nasteung” karena selain penumpangnya sedikit, mereka juga sudah berapa kali bulak balik dan tidak seorang pun melirik dagangannya. Maaf, kami komuter yang sadar sarapan pagi, bukan tukang jajan. *tapi mungkin jika ada Gehu, okelah, bisa dipertimbangkan.
Kereta yang saya naiki ini tidak seperti KRD Ekonomi, yang penuh berdesakan, karena memang KRD Ekonomi menampung penumpang baik yang memiliki karcis (sadar) maupun yang tidak memiliki karcis(sarap), yang sarap itu mengantongi sebuah jampi: ATOS PA, TADI!, jadi saat kondektur menanyakan karcis, tinggal jawab itu saja, niscaya aman. Juga pembauran antara penjual asongan, pengamen soloist, baik yang nge-lem Aibon ataupun yang tidak, serta pengamen keroyokan (biasanya di sekitaran stasiun Andir. Sekali ngamen mereka biasanya berkelmpok antara 4 orang sampai 11.000 orang!*Hell dude, you may believe in what I’ve said. It’s up to you!), tukang sapu berbaju Bob Marley dan memang mirip karena gimbal dan tahi lalat di jidat, tukang nyemprotin Bayfresh bermuka tamak, tukang pulsa keliling yang rada banci, tukang kacamata ceng-dem yang sok gaya, tukang jepit rambut warna-warni seribu tiga (mengincar anak-anak SMP paruh baya yang sedang labil dalam memilih), tukang Tahu (pastinya), tukang apel, jeruk, bahkan sales kriditan motor Honda pun ada, what the…. Kereta ini, aduh (maaf) sangat lambat sekali mungkin jika diibaratkan seperti modem saya yang habis kuota dan belum di isi sampai si operator dengan rajinnya sms tiap pagi mengingatkan “maaf kuota telah habis, segera isi ulang. 50.000 untuk 1 GB.”, ah bikin emosi saja. Tapi, Kereta yang sedang saya tumpangi ini lebih cepat dan memang nyaman karena pedagang hanya ada 3 atau 4 orang saja dan itu resmi loh, punya seragam dan ID juga. Kereta ini hanya berhenti di beberapa stasiun saja. Dari stasiun Bandung menuju stasiun Cimahi hanya memerlukan waktu 10-15 menit saja.
Yesss…akhirnya sampai juga.

********
Saya datang ke Cimahi untuk menafkahi diri saya sendiri dan mungkin beberapa orang yang ditakdirkan bertemu saya lalu diberi sedikit dari apa-apa yang telah saya dapat. Di Cimahi, saya hanya menghabiskan waktu beberapa jam saja sampai agak sore. Selebihnya pulang ke Dago, dan bercengkrama lagi dengan imajinasi liar saya yang tak karuan ujung tungtungnya.
Pulang dari kampus, saya kembali ke Stasiun Cimahi mengantri tiket pulang menuju Bandung. Agak santai, karena ibu kosan tidak mungkin juga meminta saya datang tepat waktu (terkecuali ibu kost menginginkan saya jadi menantunya. Tapi ah, sulit. Meski anaknya memang cantik, tapi saya toh tidak pernah siap memiliki mertua Robocop dan Medusa dalam satu paket!) kembali duduk di jejeran kursi Jalur 1 stasiun Cimahi. Mendung, dan mungkin akan hujan. Entah hujan radiasi dari Jepang atau hujan sianida sintetis kiriman Neo-Hitlerism dari German sana yang salah sasaran. Di sebelah saya duduk berdampingan dua lelaki tuna netra yang tengah asyik membicarakan istrinya masing-masing yang katanya sangat sempurna bagi mereka, mau menerima mereka apa adanya dan juga menyediakan keperluan pencarian nafkah (mengamen, red.). Sungguh, wanita jenis apakah yang bisa menerima lelaki seperti itu? Apa yang wanita tersebut harapkan dari para lelakinya? Ungkapan CINTA ITU BUTA sudah bukan jamannya lagi. Kalo Cinta itu Buta, mengapa ada lingerie dan bikini? Tapi itulah Maha Adilnya Tuhan menciptakan lautan beserta daratannya dan juga isinya (lelaki dan perempuan yang saling berpasangan). Saya sepertinya harus belajar ikhlas dan bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Mereka lalu pulang dan sekarang sepi lagi, andai Nurdin Halid datang kemari, pasti rame banyak massa membawa spanduk, “TURUNKAN NURDIN HALID!!HIDUP PSSI dan semoga Indonesia juara PING PONG!” Sekarang hanya ada lagu Paramore “The Only Exception” dari Hp saya dan sebuah celah kecil di kepala saya yang kembali menampilkan slide potret manehna, D’oh!!help me Homer J. Simpsons!!!!
Kereta datang perlahan dari Padalarang membawa beberapa biji, uhm, orang manusia lunglai dari tempatnya bekerja. Saya duduk sendiri di pojokan dekat sambungan kereta. Orang-orang terlihat diam dengan mata layu menerawang ke luar jendela, entah apa yang dipikirkan, mungkin hutang, muka sangar sang bossnya, atau mungkin memikirkan selingkuhan yang kepergok selingkuh dengan selingkuhannya? Rumit sekali hidup mereka. Sementara saya, terus tersenyum sumbang membayangkan seseorang ditemani Heartbreak Warfare milik John Mayer. Sesekali minum, lalu diam lagi, senyum lagi, minum lagi dan bersin hingga sampai kram hidung saya, lalu kereta mengurangi kecepatannya dan tibalah saya di stasiun Bandung hampir sore, dan tetap mendung namun tak ada sianida sintetis dan reaksi nuklir. Membayangkan kalo itu terjadi, di Cimahi saya masih manusia, sampai Bandung sudah jadi Mutan Toke. Gusti….
Keluar Stasiun, ada yang menyita mata saya, dia adalah seorang nenek jompo telah renta dan hampir bungkuk yang ternyata baru saya sadari bahwa sedari tadi pagi saat saya datang berpeluh kesang sampai sekarang saya tiba berkeluh kesah dari sebuah pekerjaan di waktu yang sesore ini, beliau masih menjajakan SUMBU KOMPOR di depan Stasiun Hall (Timur). Sampai setua inikah beliau harus menafkahi dirinya dan mungkin keluarganya? Sampai sesore inikah beliau harus berdiri menjajakan sumbu kompor yang mungkin buat sebagian orang sangat tidak penting? Tapi beliau tidak meminta-minta seperti sebayanya yang sama-sama kurang beruntung. Terlihat dia masih semangat menjajakan sumbu kompor ke setiap orang yang lewat di depannya sambil tersenyum ramah. Bukan hanya 1 atau 2 plastik yang dia bawa, tapi beberapa plastik yang menggunung belum terjual sampai sesore ini. Dia membawa sebotol air putih dan sebungkus nasi yang tergeletak begitu saja tidak terbungkus rapi. Saya duduk menunggu angkot yang mungkin lewat, sekalian istirahat. Sepertinya, sampai sesore ini tidak ada satupun sumbu kompor yang terjual (terima kasih kepada bapak-bapak yang telah meng-konversi minyak tanah ke gas). Si nenek itu kemudian duduk dan menyimpan sumbu kompornya selagi menunggu rombongan orang yang lewat berikutnya. Seyakin itukah beliau menjajakan sumbu kompor di tengah konversi? Sehebat apakah beliau akan bertahan dengan hal itu? Disini ternyata ada sisi kehidupan unik yang sangat berguna bagi kehidupan saya. Kehidupan saya selalu di unggah dan di unduh oleh kehidupan orang lain, oleh kehidupan sebelumnya dan oleh kehidupan yang akan datang. Si nenek terlihat membuka botol minumannya, lalu meminumnya dengan perlahan. Bekalnya dibuka, lalu mulai mengambil nasi yang bukan ukuran porsi saya. Nasi, benar-benar nasi, tanpa apapun, hanya nasi yang sudah hampir kering. Matanya nanar entah memikirkan apa. Tangan lunglainya menyuapkan secuil nasi ke dalam mulutnya yang tak lagi bergigi. Dikunyah seadanya lalu didorong air minum, berhenti sebentar lalu mengambil sesuatu dari kantong plastik merah yang ternyata beberapa obat generic terbungkus plastic obat berwarna biru. Ah, lengkap sekali hari ini. Pagi terburu-buru, siang berpanas peluh, dan sore harus saya habiskan melihat si nenek itu berjuang. Tapi beranjak pun saya enggan, masih terus berfikir tentang bahan material pembentuk semangat si nenek itu. Langit makin pekat, campuran langit sore dan mendung. Sudahlah, saya bergegas pulang dan sejauh mata memandang, si nenek itu masih terus berdiri menjajakan sumbu kompor ajaibnya yang entah sampai kapan akan terjual, dan entah pukul berapa beliau akan pulang atau mungkin juga tidak.
Dan diantara rentetan kejadian hari ini, Pak Sore lah yang memenangkan hati saya untuk berfikir lebih jernih tentang kehidupan. Memang ada kalanya saya terkekeh setengah mati bersama teman-teman, ada kalanya saya juga diam sendirian di dalam kamar memikirkan sesuatu atau seseorang, dan ada kalanya melakukan keduanya secara bersamaan (tertawa dengan orang yang selalu saya pikirkan saat sendirian. Sebuah paket hemat). Yang tengah jadi trending topic di otak saya adalah “Who are you with the unforgettable face and unpredictable personality?” Tapi setelah pengalaman yang saya indrai sendiri sore ini, saya menyimpulkan bahwa yang terpenting adalah hari-hari saya tidak hanya dipenuhi oleh perasaan yang itu-itu saja. Melulu tentang mendapatkan perhatian seseorang adalah sebuah kengerian yang terselimuti canda lalu diumbar dengan indah demi mendapatkan sebuah kenyamanan meski cenderung dilebih-lebihkan agar saat itu menjadi menyenangkan. It leaves you a whole exuberance and puts you in the mirror, then you’ll say “God, give me an extra time. Keep the day bright!”, tapi kalo kata Malique n d’esssential sih “Buka mata, hati, telinga..sesungguhnya masih ada yang lebih penting dari sekadar kata cinta! Yang kau inginkan tak selalu yang kau butuhkan, memang yang paling penting cobalah untuk membuka mata, hati, telinga…!”
Welcome to the real life. Apa yang salah dengan lagu “Carnival”-nya The Cardigan saat dinyanyikan sang gitaris? Ah, dengarkan sajalah dan kamu akan tahu itu. Sangat tercium aroma Reverse psychology sedang mendekonstruksi semuanya. Semua hal yang berkaitan dengan hati akan sangat relative, subjective dan cenderung irrational. Ketika kamu punya logika, namun percuma saja, itu mati. Why Everything Is Relative—Even When It Shouldn't Be? (Dan Ariely).

Dan inilah akhir sebuah cerita tak tersambungkan antara KRD, Selasa, Sumbu Kompor, lagu Paramore dan penyanyi cover versionnya yang sangat menginspirasi saya belakangan ini. : )

The fact is:
1.      Kereta Rel Diesel Baraya Geulis memang keren buat para komuter.
2.      Saya memang ke Cimahi seminggu sekali dan memakai jasa transportasi kereta.
3.      Ibu penjual Sumbu Kompor memang ada, dan masih suka menjajakan dagangannya di depan St. Hall gerbang Timur. (jika ada rezeki tambahan, berbagilah sedikit, teman-teman! juga buat adik-adik para penjaja Cowet Batu dan Mutunya di dekat Riau Junction.)
4.      What I’m gonna do when the best part of me is always you?
5.      Hidup saya telah sedang menyenangkan Selasa itu : )


Entah ini apakah! Apapun lah, ini Buatnya




“I’ll take a quite life for handshake more carbon monoxide no alarm and no surprises!” Thom York yang (katanya) schizophrenic malam ini berhasil menjejalkan pengantar konsep sebuah kebosanan akan sebuah sesuatu yang terus menerus dipaksakan. Menukil waktu yang diam dan dinamis, serta dinamisnya waktu yang diam. Bakar saja kalender dan kubur dalam-dalam jam kamu! dan kamu tidak akan pernah merasa tua. Berfikir logis tidak mungkin memecahkan hal serumit dan sepelik ini, teman-temanku yang baik. Usia memang menuntut perubahan dan perubahan menyita kelogisan tentunya. Aturan dan konvensi baku sudah terlanjur diresmikan terkait hal ini ,meski dibawah tekanan ke-subjektivitas-an dan ke-arbitrer-an. Mungkin ada ruang ketiga antara rasio dan emosi yang bisa menjelaskan ini, entah apalah namanya, tapi pasti ada. Mungkinkah intuisi? Ah, Intuisi hanyalah kebukanan yang terjadi saat sesuatu dirasionalkan namun buntu pada akhirnya. Metafisik kah? itu berlaku saat sedang susah berlogika, sulit menerawang angka-angka pengisi perut, terhimpit urusan dunia beserta penghuninya, terbujur di atas ranjang Rumah Sakit mahal, dikenai perasaan takut berlebih yang sangat seolah-olah demikian adanya, terpatrilinealkan dan termarjinalkan aturan sistemik, dan macam hal yang kadang terseok dan hanya ketersungkuranlah untuk menyelesaikannya. Apa dong? Apa sih? Mungkin ini!
Begini, pada dasarnya saya hanya ingin membahas konsep usil atas sebuah kesendirian yang sering dilontarkan mereka pada saya. Ya, ini ada kaitannya dengan si “Bumi” (jika dalam kasus ini saya kaum pemakan Apel terlarang itu). Andai dulu, sepersekian detik saja ibu saya berubah fikiran dalam urusan mengejan, mungkin tatanan kosmologis dalam tautan takdir akan berbeda, bukan? Bisa jadi hari ini mungkin saya tengah memikirkan untuk membeli beras, susu bayi, uang SPP anak dan kebutuhan istri buat besok. Tapi Tuhan itu adil sekali, Maha Adil dan sudah tahu akan keadaan makhluk-Nya yang rupawan nan hina ini, beserta nasibnya, “Dan barangsiapa mengerjakan amal-amal yang saleh dan ia dalam keadaan beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan haknya.” (20:112). Iya, Dialah adil seadil-adilnya. Mengapakah merasa tidak diperlakukan adil oleh Tuhan? Mengeluh setiap hari seolah-olah itu menyelesaikan masalah. Kalo begitu, oke, saya mau mengeluh:” Tuhan, mengapakah sampai hari ini hidup saya hanya sebelah? Mengapakah kesebayaanku menuntut keberduaan yang berujung pada penciptaan keluarga (baru)?” lalu apakah dengan ajaibnya akan muncul sesosok wanita manis telanjang bulat menjulur-julurkan lidah dan memakai stiletto yang siap kapan saja dibuahi? Ah tidak juga demikian. Kesendirian memang kadang memunculkan hal-hal yang terlihat absurd, aneh atau tidak rasional. Ini adalah seperti abad dimana manusia menganggap dunia tidak mungkin terlipat, karena planet ini tidaklah sebulat ruang mulutmu saat berujar “Ooooh..” dengan brutalnya karena pemikiran ortodok akan dunia. Dan planet ini tidak sesempit WC umum tempat saya berimajinasi sambil menguras substansi hangat tanpa ragu. Planet ini luas, luas sekali. Seluas mata kita berfikir menggantikan otak. Seluas kebodohan mereka terhadap makna ikhtiar. Namun sekarang? Dunia sudah terlipat sekecil detik dan sesempit jarak mata terhadap layar pendar. Sehingga detikpun dirupiahkan dan mata pun dimediakan.
 Melihat mereka yang berbahagia diatas podium yang ditinggikan beberapa puluh centi dihadapan teman dan kerabat, saya pun merasa ingin. Memang mudah memuali sesuatu dengan kebaikan (pernikahan), namun yang tersulit adalah mengakhirinya dengan kebaikan juga. Namun, hey, ada hal lain yang ternyata harus diprioritaskan dahulu sekarang. Teman-temanku, sudahlah, kalian juga kan butuh istirahat, kalian nikmatilah masa indah kalian di Bumi ini dengan otak bersih kalian yang terlindungi tempurung (padahal seharusnya tidak usah dilindungi sedemiukian rapihnya, karena otak bersih kalian tidak akan diminati museum Negara untuk diawetkan). Jangan terus-menerus memikirkan dan mengatur nasib saya yang menurut kalian tak berirama ini. Tenang, saya pun sebenarnya (sedang) punya dia. Dia yang tidak pernah tahu betapa saya ingin menjambak waktu agar berhenti. Terengah-engah mencuri bahan cerita baik dan buruk untuk disuguhkan. Memposisikan diri sebagai orang kiri sehingga dia akan merasa baik-baik saja dan aman di tempatnya. Dia bahkan mampu menidurkan hewan imut bertaring ditempat dimana semua hasil kerja keras menata huruf selama ribuan jam berjubel dengan indahnya juga sistemik. Mungkin dia orang baik, dan jika saya mendapatkannya, semoga menjadi yang terbaik, karena saya pasti sebaliknya. Dan bukankah wanita baik hanya untuk pria yang kurang baik? Ataukah wanita baik hanya untuk pria baik? Lalu saya? Tapi, kita itu seperti tomat. Ada teman saya yang parasnya sungguhlah abstrak, membenci tomat amat sangat, namun disisi lain dibelahan dunia lain, ribuan orang menyukai tomat. Simpulannya, kita punya pangsa pasarnya masing-masing. Jika saja  kami memang ditakdirkan menjadi dua orang baik-baik pada akhirnya, maka itu adalah bonus. Namun jika saya bukan untuknya, saya pasti orang baik yang harus mendapatkan wanita kurang baik untuk diperbaiki. Tapi, bisa jadi wanita kurang baik itu, dia. How, God? Is it okay? Diam berarti iya, Tuhanku yang Maha Baik, terima kasih, Tuhan.
Dan diakhir tahun (ini), mungkin saya akan mengajaknya belajar mengeja tanda-tanda tentangnya. (Bugi)
Ps: please listen to the track of Bruno Mars with his single Marry You! It’s cool, brilliant! ^^b

Sebuah Mug Berisi Cajon dan Renungan Venus




Pagi tadi pukul 05.21 WIDP-44 (Waktu Indonesia Bagian Dago Pojok no. 44) tersiar kabar melalui pesan singkat tentang sebuah berita naas. Saya rada terhenyak, denger temen masuk rumah sakit di Jakarta Tenggara. Kecelakaan motor hampir merenggut nyawanya. Luka kepala sangat parah hingga sangat mungkin mengalami gegar otak. Serius, saya sedih dengernya. Kasihan keluarganya juga dirinya, karena dokter memvonis akan ada kelumpuhan permanen di bagian tungkai kaki kanan karena syaraf-syaraf vital putus akibat kecelakaan tersebut. Dokter tidak berani melakukan tindakan operasi, terlalu beresiko ujarnya. Terlebih beberapa organ dalam seperti lever, dan saluran empedu terluka. Katup dan selaput jantung pecah sehingga terjadi penggumpalan darah di jantung , dan sirkulasi darah serta oksigen tidak lagi sempurna. Ini juga berpotensi akan menghambat kinerja Paru-paru yang juga telah mengalami penyempitan saluran menuju larynk dan hidung. Kesemuanya itu diakibatkan tubrukan tidak beraturan terhadap benda-benda keras, seperti trotoar dan aspal. Saya tahu dia anak yang baik dan ramah, ramah sekali. Dia berani merantau ke Jakarta dari kampung demi menafkahi ibunya yang telah menjanda serta kedua adik perempuannya yang masih bersekolah. Selepas sekolah, dia tidak memutuskan kuliah. Beberapa hal mengganjel langkahnya, salah satunya adalah biaya dan pertimbangan akan adik dan ibunya. Dia benar-benar kepala keluarga di rumahnya, pengganti sang ayah yang telah lama meninggal akibat serangan kanker paru-paru ganas.  Kini, ibunya harus kembali memeras keringat dan menjual semua harta peninggalan suaminya demi membiayai anaknya yang tengah sakaratul maut di rumah sakit. Dan satu-satunya harta yang bisa dijual adalah, rumah yang ditinggali. Tapi sayang, note ini tidak akan menceritakan hal itu, karena hal itu hanya fiktif belaka. Terima kasih telah bersedia membaca prolog saya yang mungkin pada akhirnya menyebalkan karena fiktif.
“Sebuah Mug Berisi Cajon dan Renungan Venus” berisi klausa-klausa sederhana mengenai sebuah keinginan seorang manusia yang bernama laki-laki dalam memperjuangkan cinta dan hidupnya. serius, ini asli. Cinta itu bukan sekedar bertukar cairan, dan memasangkan kutub-kutub positif dan negative atas wanita dan lelaki. jadi apa dong? Oke,,kita telaah lebih jauh mengenai hal ini.
Sebuah pemikiran janggal saat Nyx dan Erebus ditendang oleh Hemera. Secuap lagu dari Tokyo Jihen berjudul Rakujitsu mengalun di decibel rendah. Agak kontradiktif memang, pagi-pagi koq dengerin Rakujitsu. Jadi weh lagunya diganti yang lebih menggugah mata, keras, kuat berotot, tapi bukan dengan band pagi hari yang suka lipsync di tipi-tipi. Saya ganti lah lagu itu dengan suaranya si Arnold Swasanaseger. (Emang Arnold pernah nyanyi dan bikin album??NYA HANTEU ATUH…NAHA DIWARO TEUING!!ENYA GE KUAT TAPI DA SI ETA MAH PAN GEUS JADI LURAH DI AMERIKANA TEH!malah mah baheula sempet nga-dalang di Lebak Hangseur jeung mamah Bungsu Bandung, Obama ge harita sumping mamawa samak pandan, bari jajan su’uk nu di pincuk!!sila cumanot anteng. Heup,heup,heup,,sok jadi kateterasan nganggo basa sunda). Dan secangkir kopi panas rada pait dengan cream abal-abal yang cuma seharga Milkuat cokelat beku di warung-warung yang siap di seruput,put,put bersama segelondong donat legal karena tengahnya bolong. Ahhhh, what a wonderful morning,beibh! Saya kembali ke rutinitas, me-nu-kil e-book(s) guna penyempurnaan sang The*is yang lama tak di respon sang coordinator. Sekalian curhat ah:IBU,BAPA,,AI ABDI BADE IRAHA UP??? -P.S I Love You-
Tiba-tiba, segerombolan awan gelap menggelayut di atas kepala, menumpahkan beberapa pertanyaan, menghujam seperti gerimis kepada wajah, jarum kepada bantal, telunjuk kepada ee ayam, dan rentenir kepada kompeni (nu terakhir rada absurd yah??bae, notes aing kumaha aing!wasit goblog!hidup Persib!). Ini pertanyaannya: “Apakah manusia punya hati?”..jengjreeeeeeeenggg!!!!Maxim maenin tuts-nya di B flat Major 7-13 rada miring. Maxims pragmatics??lain,ieu mh Maxim tukang Kentang Arab.
Tukil menukil sudah umum, dan ini juga menukil dari beberapa sumber yang (tak) dapat dipercaya sepenuhnya, bahwa kita, jelas punya HATI. Saya pernah liat koq di Youtube saat seonggok jaringan mati otak tengah di lukis pisau bedah di sekitaran abdomennya, seperti karung terigu berisi santan kental, saat pisau digerakkan, isi perut berlomba keluar. Kasihan si cadaver itu. We A Wa Te I Ti eR. Ya memang, itu cuma “mantan” manusia, tapi da euy, karunya ai kitu-kitu teuing mah (Kaciri tah emosina maen!). Ah,,biarkan lah, tubuhnya memang sudah didonasikan untuk dunia pendidikan. Cadaver yang tengah di bedah para mahasiswa kedokteran itu cukup terlihat nyaman, tidak meringis dan tidak complain (nya enya da geus paeh!!). Ada hati, ginjal, paru-paru, jantung, empedu dan usus terburai kehitaman saat ujung pisau selesai menari di perut. Dipikir-pikir, kita itu sama yah, mau yang pinter, mau yang tolol, mau yang cantik, mau yang ganteng, mau yang jelek, tetep weh kalo udah terbujur kaku mah nantinya jadi mayat dan haroream teuing pan ngagugulung yang udah meninggal, kajeun pinter dan cantik ge. (Nya lah kecuali yang Necrophilia,, eta mah beda deui!)
Hati,sesuai fungsinya adalah penetral racun. Tapi kenapa di asumsikan dengan fikiran dan pemikiran dan cinta?? Apakah secara harfiah? Begitukah? Hey kamu, jawab!! Kenapa cinta harus dengan hati? Analogikan bahwa cinta itu racun, mungkin akan masuk akal kalo diolah oleh hati. Tapi kan cinta itu abstrak, kenapa data dan property cinta di telaah oleh hati yang notabene penawar dan penetral racun dalam tubuh? Lalu kemanakan logika? Lalu untuk apakah sang otak kita yang jenius yang telah dilindungi dengan hati-hati dan tersistem oleh tempurung berbahan kalsium padat (meureun)? Tetap, logika mengalah atas emosi. Emosi dan rasa itu seperti segalanya dalam hidup ini. Seperti Cajon Meinl yang dipaksakan masuk dalam mug bundar tidak bulat. Bagaimanakah kita memaksakan agar si Cajon masuk? Bukan dengan paksaan tentunya, tapi pakai logika dan rasio, Bung! Jawabnya: Cari mug yang ukuran diameternya sama dengan lebar penampang bawah Cajon!! Terserah,,mau pas atau tidak, yang penting masuk! Itu kan tujuannya?? Oke,,beres. Lagi-lagi hal itu sulit dikaitkan dengan cinta terhadap lawan jenis, logika mah paeh! Kita bukan saja harus masuk, tapi juga harus pas, yang kemudian disebutlah dengan istilah “Sehati”. (anyir, Jiga ngaran warung nasi deukeut kosan urang!sumpah marurah.)
Beginikah cara sang Venus memandang cinta? Ah,,sulit ternyata mengalahkan rasa dan emosinya. Pengaruh kromosom mungkin. Bagaimana yah mendapatkan hatinya (lagi-lagi hati!) sang Venus? Salah-salah nanti bisa Venustraphobia kalo terlalu sulit. Ah, mungkin harus banyak makan gehu. Bagi saya, subjektif dan objektif, kita itu seperti flash light, lampu senter bertenaga 2 baterai ABC nu koneng tea gening. Wanita sebagai baterai pertama, dan laki-laki baterai kedua. Kita butuh satu sama lain untuk menerangi kegelapan. (maaf, saya menukil dari film “don’t look down!” produksi tahun 2008, film indie berbahasa Spanish kalo ga salah). Disitu dikatakan bahwa,,aduh maaf yah rada vulgar, mohon anak kecil usia di bawah 25 tahun tutup telinga dan mata dan jauhkan dari sabun. Jadi begini, manusia itu berpasangan, saat laki-laki berhadapan dengan wanita, dengan posisi telanjang bulat, nah disitulah kita bisa lihat kutub-kutub positif dan negativnya. Yah,coba saja lah renungkan sendiri, batu baterai seperti apa bentuknya, lalu terapkan dengan analogi saya tentang wanita dan laki-laki. Atau kalo mau lebih jelas, silahkan nonton filmnya lah, di saya ada, cuma 702 MB, muat lah di flashdisk mah.  
Jadi, mengapakah cinta dipandang dengan cara yang lain? Mungkin itu kodrat. Dan ah, I know God will not give anything I can’t handle. I just wish that He didn’t trust me so much (Mother Theresa). 
Renungkan wahai Venus, Mug kita itu tidak mungkin pas di isi Cajon. Renungkan juga bahwa kita dalam kegelapan, kita butuh cahaya terang menuju kesana. Renungkan bahwa kita sedang mimpi sebelum terbangun di akhirat yang sama. Renungkan bahwa kita akan terus melemah, kita akan saling menopang karenanya. Renungkan bahwa kita hanya punya satu sayap, kita butuh bersatu kalo mau terbang. Renungkan bahwa kita bukan Vatikan dan Illuminati. Renungkan  bahwa Tuhan sudah menentukan, dan kita tinggal patuh saja. Renungkan harga sembako yang kian merangkak naik sebelum puasa tiba, tiket kereta api naik 20% sebelum tuslah, kebijakan pemerintah atas TDL yang berdampak pada BBM. Duhai Venus, renungkan yah,,dan semoga dengan ini, akan ada semiotika gesture yang kemudian bisa hadir dalam rentang waktu dimana otak kita belum terlanjur membeku satu sama lain karena terlalu dipenuhi hal-hal yang sebenarnya kita tidak perlu. Dan beri tanda yah kalo kamu sudah siap untuk diajak bicara dan saya segera mengatakan “L word.” Dimana? dan Kapan? Well, let’s see then..^^