21 Desember 2011, 11.59 WIB.
Ini udah ampir piring ke tiga
yang bapa itu pindah tangankan dari sebuah talenan panjang yang dipakenya untuk
mengiris dan mencincang daging ke tangan para pembelinya. Tapi ketiganya masih
harus direlakan untuk orang yang datang lebih dulu. Tenda soto ayam ini
letaknya di depan sebuah kampus yang udah ngasih guwe banyak hal sehingga guwe
ga menafikkan diri bahwa guwe cinta sama kampus ini sebagai almamater. Kampus
yang udah 6 taun guwe singgahi dan hampir setiap pagi guwe tagih ilmu-ilmunya,
semata-mata buat bikin guwe survive menjalani keseharian guwe di hari
berikutnya. Dan akhirnya, this is it, sepiring nasi dan semangkuk soto berwarna
kuning bening yang ditaburi koya dan bawang goreng garing mendarat di meja yang
hanya bertatakan karpet plastic bergambar kotak-kotak sederhana berwarna
abu-abu. Sotonya agak banjir nih, memenuhi 87% mangkuk ayam jago yang udah agak
retak-retak kehitaman karena pengaruh waktu. Bersama teh manis anget segelas
jangkung, guwe penuhi hasrat lapar ini.
Masih mendung juga ternyata, dan
ini udah menit ke 37 guwe tertahan di warung tenda-yang seukuran kuburan
Belanda ini-semenjak tadi guwe datang pake angkutan ijo strip merah. Awan makin
gelap, serasa jam 5 sore, padahal ini baru Dzuhur lewat 10 menit. Dan anehnya,
guwe ga bergegas dan beranjak dari kursi itu, sementara pembeli lain seperti
yang ketakutan terhadap Zeus yang tengah mengasah petirnya. Guwe santai aja
duduk sambil buka-buka sms dan nge-cek email masuk dihadapan mangkok dan piring
kosong yang hanya tersisa tisu yang sudah guwe bulet-bulet. Penjual soto
memulai percakapan pembuka dengan logat Jawa yang medhok, “De, panas buanget
ya, padhahal mendhung.” Guwe bales, “iya nih, Pa, ujannya bakalan gede
kayanya,” disertai senyum cowo baik-baik dan anggukan pertanda setuju dan
sepaham dengan ucapan beliau. “kok tumbhen udah pulang, De?” lalu beliau
bertanya lagi. “hiya nih, Pa. Tadi kebetulan kantor sedang ada renovasi dan
besok juga tanggal merah, jadi pulangnya dipercepat.” Sambil mesem-mesem karena
sebenernya guwe bolos pura-pura sakit mata.
Sementara itu, atap tenda plastic
berwarna biru mulai memperdengarkan suara tetesan air yang semakin keras. Bau
tanah dan aspal menyeruak menguap ke udara. Terpaksa guwe neduh sampai hujan
ini bener-bener berhenti disitu.
Oh, hujannya cuma bentar aja
ternyata. Teh manis yang tadi anget yang masih tersisa buru-buru dihabiskan dan
langsung pamit ke bapa penjual soto yang sedang mengelap piring, mangkok dan
sendok di kursi kayu panjang yang menghadap ke gerobaknya. Guwe lalu keluar
tenda dan merapikan kemeja biar masih tetep enak dipandang, kalo-kalo di jalan
menuju pulang ini guwe ketemu cewe cantik, kaya, galau karena baru diputusin
cowonya yang punya cewe lain, dan tiba-tiba ngeliat guwe seperti shower yang
dia idam-idamkan.
Langit masih mendung, ibarat cewe
yang abis nangis semaleman, meskipun air matanya udah abis, tapi matanya tetep
sembab dan sayu sampe besok paginya. Guwe berjalan dengan kedua tangan
dimasukkan ke saku celana biar rada aerodinamis dan mengurangi beban bawaan.
Seperti kebiasaan guwe yang ga pernah ilang, setiap kali jalan kaki, earphone
pasti nyambung ke mp3. Perlu diketahui, salah satu cara buat cowo yang jomblo,
agar terhindar dari perasaan sepi saat jalan, pasti dengerin music. Sepertinya
pertanyaan retoris muncul, “emang kenapa sih? karena ga punya sesuatu yang
harus digandeng atau diajak ngobrol?” GA USAH DITANYAIN DAN GA USAH DIJAWAB!
Dijalan yang agak rimbun oleh
pepohonan warisan jaman colonial, guwe bertemu papas dengan seorang bapa yang
memakai peci hitam datar, kemeja putih rapi yang dimasukkan ke dalam celana
katun cokelat yang potongannya sudah sangat jadul. Terlihat sedang menunggu
jalanan sepi dan berniat menyebrang jalan. Inisiatif guwe muncul, sepertinya
guwe harus beli minuman dingin buat nemenin guwe jalan kali ini. Inisiatif guwe
baru sebatas itu, belum sampe ke si bapa yang sedang menunggu untuk menyebrang
jalan. “A, ini berapa?” guwe ngacungin sebotol teh dalam botol plastic berwarna
hijau kekuningan bertuliskan “the hijau madu”. “Marebu, A..” kata seorang
pemuda nanggung yang ada bekas tindikan di telinganya. Lalu guwe bayar pake 2
buah uang dua ribuan lecek dan 2 buah uang limaratusan yang masih kinclong
warna peraknya. Diperhatikan lagi, ternyata si bapa tadi masih meraba-raba
pinggiran jalan yang tinggi dan sedang memindai trotoar yang lebih rendah
supaya bisa dilalui dengan mudah.
Sepertinya guwe harus membantunya
menyebrang, kasian si bapa itu, beliau tuna netra. Guwe pegang pergelangan
tangannya, lalu kemudian guwe menawarkan, “Pa, mau nyebrang? Mari saya bantu,
Pa.”
Si bapa melihat melihat kearah
kanan, sementara guwe megangin tangannya di sebelah kiri, sembari bilang,
“aduh, hatur nuhun, Cep. Iya ini teh bapa dari tadi mau nyebrang tapi susah,
belum terbiasa lewat jalan ini.” Guwe bimbing si bapa itu berjalan menuju
seberang tempat tadi guwe beli minuman dingin.
***
21 Desember 2011, 16.46 WIB.
Rebahan di kasur yang lepek dan
adem itu udah lebih dari cukup buat guwe setelah seharian ini jalan kaki menghabiskan
sebotol teh dingin dan mendengarkan cerita seorang bapa yang sangat hebat dalam
menjalani hidupnya. Beliau mengalami kebutaan permanen semenjak mengalami
kecelakaan di usianya yang masih muda, 8 tahun. Semenjak itu, dia harus rela
menghadapi dunia yang gelap gulita yang hanya bisa dideskripsikan oleh mereka
yang pernah mengalami. Saat kecil, guwe Nyctophobia, ke kamar mandi aja dianter
nyokap, sama halnya dengan si bapa itu. Beliau pun awalnya depresi karena
ternyata semua yang dilihatnya harus rela diwarnai hitam legam. Semua memori
photographic yang beliau punya terhenti di usia 8 tahun itu. Bahkan beliau
masih menganggap bahwa angkutan kota itu masih berbentuk oplet. Beliau kini
bekerja di panti pijat tuna netra dengan bayaran yang guwe rasa sih ga bakalan
cukup untuk ukuran manusia jaman sekarang, apalagi ga setiap hari beliau dapet
pasien.
Herannya lagi, beliau ga pernah
mengeluh. Saat guwe tanya, beliau selalu jawab dengan tenang. Pertanyaan guwe:
1. Pa,
apakah bapa ga iri sama orang-orang yang bisa melihat seperti saya?
Alhamdulillah
ngga, Cep. Saya, bagaimanapun juga sudah dikaruniai apa-apa yang selalu saya
butuhkan. Ini bukan keinginan saya untuk menjadi tuna netra sepeti sekarang,
ini sudah kehendak Tuhan. Iri saja tidak akan membuat saya melihat kembali,
jadi untuk apa lah. Saya ikhlas menerima dan toh saya masih bisa hidup bahagia
sampai saat ini.
2. Pa,
pernahkah bapa dihina? Lalu bagaimana respon bapa?
Bukan pernah
lagi, tapi sering. Ah, tapi hinaan kan ga bikin kita hina ya. Biarkan aja mereka
menghina saya, karna mungkin saya pantas dihina, tapi saya sebagai manusia
biasa juga sering sakit hati. Hanya Tuhan yang Maha Tahu apa maksud dari semua
hinaan itu, jadi biarkan Tuhan yang mengurusnya.
3. Pa,
sudah punya istri? Bagaimana beliau sekarang?
Alhamdulillah,
sudah punya istri namun kami masih juga belum dikaruniai keturunan, mungkin
belum waktunya. Istri saya itu baik, sebuah mahluk yang diciptakan sempurna
untuk ukuran saya. Apapaun keadaan saya, dia tidak pernah mengeluh, kami tetap
bahagia hingga saat sekarang ini. Kami saling temu dengar pertama kali disebuah
acara santunan di panti pijat yang diikuti tuna netra se-Jawa Barat. Dia juga
sama, tuna netra seperti saya.
4. Koq
bisa saling jatuh cinta sih, Pa? Itu bagaimana, Pa?
Tuhan itu Maha
berencana, tidak ada satupun makhluknya yang bisa membendung rizkinya atau
bahkan menghentikan semua kehendaknya, termasuk jodoh. Untuk memuliakan
seseorang, Tuhan selalu mempunyai caranya yang sangat unik dan terkadang tidak
terpikirkan oleh kita. Kami bertemu dengar, saling sapa disebuah meja makan
kayu saat kami sama-sama makan setelah acara santunan selesai. Kami saling
sapa, lalu berkenalan hingga kami akhirnya jatuh cinta satu sama lain.
Kami tidak jatuh
cinta atas fisik kami, dan kami saling percaya bahwa kami adalah pasangan yang
memang sudah disediakan oleh Tuhan untuk saling melengkapi.
Dari situ guwe
ambil sebuah simpulan bahwa, kebutuhan pandang secara fisik dalam sebuah
hubungan memang perlu, tapi tidak akan pernah mengalahkan sebuah kekuatan hati
yang sedang berkembang untuk memuliakan masa depan pasangan tersebut. Ketika
perasaan itu datang melalui pandangan, akankah berakhir secara dramatis di usia
dimana satu sama lain telah menua? Lalu, percaya satu sama lain juga penting.
Guwe kalo jadi si bapa itu, bisa aja sih mikir, bahwa mungkin si istrinya itu
hanya berpura-pura tuna netra, toh suaminya juga ga bakal tahu karena tidak
melihat. Dan semuanya bertumpu pada sebuah frasa, puji syukur.
Guwe sering
mengeluh tentang hal yang tidak sepantasnya dikeluhkan, tapi berkaca pada
pengalaman hidup si bapa yang tadi siang guwe temui, guwe belum ada apa-apanya
dibanding beliau.
Terima kasih
untuk siang ini yang mendung, untuk sebuah cerita yang berilham, untuk semangkuk
jalan menuju pencerahan, serta untuk beliau yang tegar di jaman yang sudah
terang benderang ini. Terima kasih, Pa Sidik.
(Fiksi ini semoga
memberi sedikit penahan kecewa buat kamu yang sedang resah atas apapun. Di luar
sana, banyak yang lebih bersyukur atas apa yang tidak mereka miliki seperti apa
yang sudah kita miliki).
No comments:
Post a Comment