Sunday, January 22, 2012

Pa Sidik


21 Desember 2011, 11.59 WIB.
Ini udah ampir piring ke tiga yang bapa itu pindah tangankan dari sebuah talenan panjang yang dipakenya untuk mengiris dan mencincang daging ke tangan para pembelinya. Tapi ketiganya masih harus direlakan untuk orang yang datang lebih dulu. Tenda soto ayam ini letaknya di depan sebuah kampus yang udah ngasih guwe banyak hal sehingga guwe ga menafikkan diri bahwa guwe cinta sama kampus ini sebagai almamater. Kampus yang udah 6 taun guwe singgahi dan hampir setiap pagi guwe tagih ilmu-ilmunya, semata-mata buat bikin guwe survive menjalani keseharian guwe di hari berikutnya. Dan akhirnya, this is it, sepiring nasi dan semangkuk soto berwarna kuning bening yang ditaburi koya dan bawang goreng garing mendarat di meja yang hanya bertatakan karpet plastic bergambar kotak-kotak sederhana berwarna abu-abu. Sotonya agak banjir nih, memenuhi 87% mangkuk ayam jago yang udah agak retak-retak kehitaman karena pengaruh waktu. Bersama teh manis anget segelas jangkung, guwe penuhi hasrat lapar ini.
Masih mendung juga ternyata, dan ini udah menit ke 37 guwe tertahan di warung tenda-yang seukuran kuburan Belanda ini-semenjak tadi guwe datang pake angkutan ijo strip merah. Awan makin gelap, serasa jam 5 sore, padahal ini baru Dzuhur lewat 10 menit. Dan anehnya, guwe ga bergegas dan beranjak dari kursi itu, sementara pembeli lain seperti yang ketakutan terhadap Zeus yang tengah mengasah petirnya. Guwe santai aja duduk sambil buka-buka sms dan nge-cek email masuk dihadapan mangkok dan piring kosong yang hanya tersisa tisu yang sudah guwe bulet-bulet. Penjual soto memulai percakapan pembuka dengan logat Jawa yang medhok, “De, panas buanget ya, padhahal mendhung.” Guwe bales, “iya nih, Pa, ujannya bakalan gede kayanya,” disertai senyum cowo baik-baik dan anggukan pertanda setuju dan sepaham dengan ucapan beliau. “kok tumbhen udah pulang, De?” lalu beliau bertanya lagi. “hiya nih, Pa. Tadi kebetulan kantor sedang ada renovasi dan besok juga tanggal merah, jadi pulangnya dipercepat.” Sambil mesem-mesem karena sebenernya guwe bolos pura-pura sakit mata.
Sementara itu, atap tenda plastic berwarna biru mulai memperdengarkan suara tetesan air yang semakin keras. Bau tanah dan aspal menyeruak menguap ke udara. Terpaksa guwe neduh sampai hujan ini bener-bener berhenti disitu.
Oh, hujannya cuma bentar aja ternyata. Teh manis yang tadi anget yang masih tersisa buru-buru dihabiskan dan langsung pamit ke bapa penjual soto yang sedang mengelap piring, mangkok dan sendok di kursi kayu panjang yang menghadap ke gerobaknya. Guwe lalu keluar tenda dan merapikan kemeja biar masih tetep enak dipandang, kalo-kalo di jalan menuju pulang ini guwe ketemu cewe cantik, kaya, galau karena baru diputusin cowonya yang punya cewe lain, dan tiba-tiba ngeliat guwe seperti shower yang dia idam-idamkan.
Langit masih mendung, ibarat cewe yang abis nangis semaleman, meskipun air matanya udah abis, tapi matanya tetep sembab dan sayu sampe besok paginya. Guwe berjalan dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana biar rada aerodinamis dan mengurangi beban bawaan. Seperti kebiasaan guwe yang ga pernah ilang, setiap kali jalan kaki, earphone pasti nyambung ke mp3. Perlu diketahui, salah satu cara buat cowo yang jomblo, agar terhindar dari perasaan sepi saat jalan, pasti dengerin music. Sepertinya pertanyaan retoris muncul, “emang kenapa sih? karena ga punya sesuatu yang harus digandeng atau diajak ngobrol?” GA USAH DITANYAIN DAN GA USAH DIJAWAB!
Dijalan yang agak rimbun oleh pepohonan warisan jaman colonial, guwe bertemu papas dengan seorang bapa yang memakai peci hitam datar, kemeja putih rapi yang dimasukkan ke dalam celana katun cokelat yang potongannya sudah sangat jadul. Terlihat sedang menunggu jalanan sepi dan berniat menyebrang jalan. Inisiatif guwe muncul, sepertinya guwe harus beli minuman dingin buat nemenin guwe jalan kali ini. Inisiatif guwe baru sebatas itu, belum sampe ke si bapa yang sedang menunggu untuk menyebrang jalan. “A, ini berapa?” guwe ngacungin sebotol teh dalam botol plastic berwarna hijau kekuningan bertuliskan “the hijau madu”. “Marebu, A..” kata seorang pemuda nanggung yang ada bekas tindikan di telinganya. Lalu guwe bayar pake 2 buah uang dua ribuan lecek dan 2 buah uang limaratusan yang masih kinclong warna peraknya. Diperhatikan lagi, ternyata si bapa tadi masih meraba-raba pinggiran jalan yang tinggi dan sedang memindai trotoar yang lebih rendah supaya bisa dilalui dengan mudah.
Sepertinya guwe harus membantunya menyebrang, kasian si bapa itu, beliau tuna netra. Guwe pegang pergelangan tangannya, lalu kemudian guwe menawarkan, “Pa, mau nyebrang? Mari saya bantu, Pa.”
Si bapa melihat melihat kearah kanan, sementara guwe megangin tangannya di sebelah kiri, sembari bilang, “aduh, hatur nuhun, Cep. Iya ini teh bapa dari tadi mau nyebrang tapi susah, belum terbiasa lewat jalan ini.” Guwe bimbing si bapa itu berjalan menuju seberang tempat tadi guwe beli minuman dingin.
                                                                                                ***
21 Desember 2011, 16.46 WIB.
Rebahan di kasur yang lepek dan adem itu udah lebih dari cukup buat guwe setelah seharian ini jalan kaki menghabiskan sebotol teh dingin dan mendengarkan cerita seorang bapa yang sangat hebat dalam menjalani hidupnya. Beliau mengalami kebutaan permanen semenjak mengalami kecelakaan di usianya yang masih muda, 8 tahun. Semenjak itu, dia harus rela menghadapi dunia yang gelap gulita yang hanya bisa dideskripsikan oleh mereka yang pernah mengalami. Saat kecil, guwe Nyctophobia, ke kamar mandi aja dianter nyokap, sama halnya dengan si bapa itu. Beliau pun awalnya depresi karena ternyata semua yang dilihatnya harus rela diwarnai hitam legam. Semua memori photographic yang beliau punya terhenti di usia 8 tahun itu. Bahkan beliau masih menganggap bahwa angkutan kota itu masih berbentuk oplet. Beliau kini bekerja di panti pijat tuna netra dengan bayaran yang guwe rasa sih ga bakalan cukup untuk ukuran manusia jaman sekarang, apalagi ga setiap hari beliau dapet pasien.
Herannya lagi, beliau ga pernah mengeluh. Saat guwe tanya, beliau selalu jawab dengan tenang. Pertanyaan guwe:
1.       Pa, apakah bapa ga iri sama orang-orang yang bisa melihat seperti saya?
Alhamdulillah ngga, Cep. Saya, bagaimanapun juga sudah dikaruniai apa-apa yang selalu saya butuhkan. Ini bukan keinginan saya untuk menjadi tuna netra sepeti sekarang, ini sudah kehendak Tuhan. Iri saja tidak akan membuat saya melihat kembali, jadi untuk apa lah. Saya ikhlas menerima dan toh saya masih bisa hidup bahagia sampai saat ini.
2.       Pa, pernahkah bapa dihina? Lalu bagaimana respon bapa?
Bukan pernah lagi, tapi sering. Ah, tapi hinaan kan ga bikin kita hina ya. Biarkan aja mereka menghina saya, karna mungkin saya pantas dihina, tapi saya sebagai manusia biasa juga sering sakit hati. Hanya Tuhan yang Maha Tahu apa maksud dari semua hinaan itu, jadi biarkan Tuhan yang mengurusnya.
3.       Pa, sudah punya istri? Bagaimana beliau sekarang?
Alhamdulillah, sudah punya istri namun kami masih juga belum dikaruniai keturunan, mungkin belum waktunya. Istri saya itu baik, sebuah mahluk yang diciptakan sempurna untuk ukuran saya. Apapaun keadaan saya, dia tidak pernah mengeluh, kami tetap bahagia hingga saat sekarang ini. Kami saling temu dengar pertama kali disebuah acara santunan di panti pijat yang diikuti tuna netra se-Jawa Barat. Dia juga sama, tuna netra seperti saya.
4.       Koq bisa saling jatuh cinta sih, Pa? Itu bagaimana, Pa?
Tuhan itu Maha berencana, tidak ada satupun makhluknya yang bisa membendung rizkinya atau bahkan menghentikan semua kehendaknya, termasuk jodoh. Untuk memuliakan seseorang, Tuhan selalu mempunyai caranya yang sangat unik dan terkadang tidak terpikirkan oleh kita. Kami bertemu dengar, saling sapa disebuah meja makan kayu saat kami sama-sama makan setelah acara santunan selesai. Kami saling sapa, lalu berkenalan hingga kami akhirnya jatuh cinta satu sama lain.
Kami tidak jatuh cinta atas fisik kami, dan kami saling percaya bahwa kami adalah pasangan yang memang sudah disediakan oleh Tuhan untuk saling melengkapi.

Dari situ guwe ambil sebuah simpulan bahwa, kebutuhan pandang secara fisik dalam sebuah hubungan memang perlu, tapi tidak akan pernah mengalahkan sebuah kekuatan hati yang sedang berkembang untuk memuliakan masa depan pasangan tersebut. Ketika perasaan itu datang melalui pandangan, akankah berakhir secara dramatis di usia dimana satu sama lain telah menua? Lalu, percaya satu sama lain juga penting. Guwe kalo jadi si bapa itu, bisa aja sih mikir, bahwa mungkin si istrinya itu hanya berpura-pura tuna netra, toh suaminya juga ga bakal tahu karena tidak melihat. Dan semuanya bertumpu pada sebuah frasa, puji syukur.
Guwe sering mengeluh tentang hal yang tidak sepantasnya dikeluhkan, tapi berkaca pada pengalaman hidup si bapa yang tadi siang guwe temui, guwe belum ada apa-apanya dibanding beliau.
Terima kasih untuk siang ini yang mendung, untuk sebuah cerita yang berilham, untuk semangkuk jalan menuju pencerahan, serta untuk beliau yang tegar di jaman yang sudah terang benderang ini. Terima kasih, Pa Sidik.

(Fiksi ini semoga memberi sedikit penahan kecewa buat kamu yang sedang resah atas apapun. Di luar sana, banyak yang lebih bersyukur atas apa yang tidak mereka miliki seperti apa yang sudah kita miliki).

No comments:

Post a Comment