“I’ll
take a quite life for handshake more carbon monoxide no alarm and no surprises!”
Thom York yang (katanya) schizophrenic malam ini berhasil menjejalkan pengantar
konsep sebuah kebosanan akan sebuah sesuatu yang terus menerus dipaksakan. Menukil
waktu yang diam dan dinamis, serta dinamisnya waktu yang diam. Bakar saja
kalender dan kubur dalam-dalam jam kamu! dan kamu tidak akan pernah merasa tua.
Berfikir logis tidak mungkin memecahkan hal serumit dan sepelik ini, teman-temanku
yang baik. Usia memang menuntut perubahan dan perubahan menyita kelogisan
tentunya. Aturan dan konvensi baku sudah terlanjur diresmikan terkait hal ini ,meski
dibawah tekanan ke-subjektivitas-an dan ke-arbitrer-an. Mungkin ada ruang
ketiga antara rasio dan emosi yang bisa menjelaskan ini, entah apalah namanya,
tapi pasti ada. Mungkinkah intuisi? Ah, Intuisi hanyalah kebukanan yang terjadi
saat sesuatu dirasionalkan namun buntu pada akhirnya. Metafisik kah? itu
berlaku saat sedang susah berlogika, sulit menerawang angka-angka pengisi
perut, terhimpit urusan dunia beserta penghuninya, terbujur di atas ranjang
Rumah Sakit mahal, dikenai perasaan takut berlebih yang sangat seolah-olah
demikian adanya, terpatrilinealkan dan termarjinalkan aturan sistemik, dan
macam hal yang kadang terseok dan hanya ketersungkuranlah untuk menyelesaikannya.
Apa dong? Apa sih? Mungkin ini!
Begini,
pada dasarnya saya hanya ingin membahas konsep usil atas sebuah kesendirian
yang sering dilontarkan mereka pada saya. Ya, ini ada kaitannya dengan si “Bumi”
(jika dalam kasus ini saya kaum pemakan Apel terlarang itu). Andai dulu, sepersekian
detik saja ibu saya berubah fikiran dalam urusan mengejan, mungkin tatanan
kosmologis dalam tautan takdir akan berbeda, bukan? Bisa jadi hari ini mungkin
saya tengah memikirkan untuk membeli beras, susu bayi, uang SPP anak dan
kebutuhan istri buat besok. Tapi Tuhan itu adil sekali, Maha Adil dan sudah
tahu akan keadaan makhluk-Nya yang rupawan nan hina ini, beserta nasibnya, “Dan barangsiapa mengerjakan amal-amal yang saleh dan ia dalam keadaan
beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya)
dan tidak (pula) akan pengurangan haknya.” (20:112). Iya, Dialah adil
seadil-adilnya. Mengapakah merasa tidak diperlakukan adil oleh Tuhan? Mengeluh
setiap hari seolah-olah itu menyelesaikan masalah. Kalo begitu, oke, saya mau
mengeluh:” Tuhan, mengapakah sampai hari ini hidup saya hanya sebelah?
Mengapakah kesebayaanku menuntut keberduaan yang berujung pada penciptaan
keluarga (baru)?” lalu apakah dengan ajaibnya akan muncul sesosok wanita manis
telanjang bulat menjulur-julurkan lidah dan memakai stiletto yang siap kapan
saja dibuahi? Ah tidak juga demikian. Kesendirian memang kadang memunculkan
hal-hal yang terlihat absurd, aneh atau tidak rasional. Ini adalah seperti abad
dimana manusia menganggap dunia tidak mungkin terlipat, karena planet ini
tidaklah sebulat ruang mulutmu saat berujar “Ooooh..” dengan brutalnya karena
pemikiran ortodok akan dunia. Dan planet ini tidak sesempit WC umum tempat saya
berimajinasi sambil menguras substansi hangat tanpa ragu. Planet ini luas, luas
sekali. Seluas mata kita berfikir menggantikan otak. Seluas kebodohan mereka
terhadap makna ikhtiar. Namun sekarang? Dunia sudah terlipat sekecil detik dan
sesempit jarak mata terhadap layar pendar. Sehingga detikpun dirupiahkan dan
mata pun dimediakan.
Melihat mereka yang berbahagia diatas podium
yang ditinggikan beberapa puluh centi dihadapan teman dan kerabat, saya pun
merasa ingin. Memang mudah memuali sesuatu dengan kebaikan (pernikahan), namun
yang tersulit adalah mengakhirinya dengan kebaikan juga. Namun, hey, ada hal
lain yang ternyata harus diprioritaskan dahulu sekarang. Teman-temanku, sudahlah,
kalian juga kan butuh istirahat, kalian nikmatilah masa indah kalian di Bumi ini
dengan otak bersih kalian yang terlindungi tempurung (padahal seharusnya tidak
usah dilindungi sedemiukian rapihnya, karena otak bersih kalian tidak akan
diminati museum Negara untuk diawetkan). Jangan terus-menerus memikirkan dan
mengatur nasib saya yang menurut kalian tak berirama ini. Tenang, saya pun
sebenarnya (sedang) punya dia. Dia yang tidak pernah tahu betapa saya ingin
menjambak waktu agar berhenti. Terengah-engah mencuri bahan cerita baik dan
buruk untuk disuguhkan. Memposisikan diri sebagai orang kiri sehingga dia akan merasa
baik-baik saja dan aman di tempatnya. Dia bahkan mampu menidurkan hewan imut bertaring
ditempat dimana semua hasil kerja keras menata huruf selama ribuan jam berjubel
dengan indahnya juga sistemik. Mungkin dia orang baik, dan jika saya
mendapatkannya, semoga menjadi yang terbaik, karena saya pasti sebaliknya. Dan
bukankah wanita baik hanya untuk pria yang kurang baik? Ataukah wanita baik
hanya untuk pria baik? Lalu saya? Tapi, kita itu seperti tomat. Ada teman saya
yang parasnya sungguhlah abstrak, membenci tomat amat sangat, namun disisi lain
dibelahan dunia lain, ribuan orang menyukai tomat. Simpulannya, kita punya
pangsa pasarnya masing-masing. Jika saja kami memang ditakdirkan menjadi dua orang
baik-baik pada akhirnya, maka itu adalah bonus. Namun jika saya bukan untuknya,
saya pasti orang baik yang harus mendapatkan wanita kurang baik untuk
diperbaiki. Tapi, bisa jadi wanita kurang baik itu, dia. How, God? Is it okay?
Diam berarti iya, Tuhanku yang Maha Baik, terima kasih, Tuhan.
Dan diakhir tahun
(ini), mungkin saya akan mengajaknya belajar mengeja tanda-tanda tentangnya. (Bugi)
Ps: please listen
to the track of Bruno Mars with his single Marry You! It’s cool, brilliant! ^^b
No comments:
Post a Comment