Sunday, January 22, 2012

Tuesday Comes to Everyone the Same



Anyissss telat!! Berangkat terlalu siang make angkot Stasion-Dago mah sami sareng memacetkan diri di Cikapayang, Dukomsel dan BIP! Belum lagi pas turun angkot, kudu jalan kaki dari bawah jembatan penyebrangan-yang pas di jalan Stasiun Timur menuju Stasiun Hall-karena si angkot sekarang tidak diperbolehkan masuk sampai area stasiun. 10 menit jalan kaki, baju lembab berhambur keringat, hah heh hoh ga puguh dan injury time membeli tiket pastinya. Buru-buru beli tiket karena KRD Patas Baraya Geulis biasanya on time. But ah, yessss, I was saved by the Peron-hero who said that the train was delayed for 10 minutes, Alhamdulillah, amin (mungkin jika diperkenankan saya akan sukuran 3 hari 3 malam di dekat peron atas keterlambatan ini. Well, shall I continue the story??). Langsung masuk Stasiun dan duduk di kursi jalur 2 sambil mengeja nafas yang terengah-engah bak ibu-ibu hamil tengah bukaan 12 disuruh push-up. Mencari Aqua (okay, air mineral. Tapi merknya Aqua) di dalam tas, lalu menenggaknya dengan penuh birahi beberapa milliliter, dan yah, it was terrific Tuesday!! Buka hape, cek facebook bisi ada notif, wall atau inbox. Ada message ternyata, sebuah klarifikasi terkeren yang pernah saya terima dari seorang perempuan. Sekalian puter mp3 juga biar tenang dan memposisikan kedudukan di kekursian agar ke-cool-an menyebar ke seluruh stasiun biar para penumpang lain merhatiin. (Dude, why you so serious, huh??)
Kereta datang, si Kuning-Biru yang ditunggu ratusan ribu, uhm, puluhan ribu deh, uhm, ribuan ketang, uhm, no, yah, well, hanya beberapa gelintir orang dengan orientasi yang berbeda-beda di benak mereka. Ada perempuan ber-seragam cokelat dengan atribut PEMKOT Uganda (ah, bukan koq, bukan Bandung) serta ber-nametag hitam di dadanya, pasti dia sedang pura-pura sakit dan bilang mau cek ke Santosa padahal bolos. Si Bapa di ujung sana yang berkemeja putih, berdasi biru dan membawa tas kulit yang dahinya berkerut membaca koran Kompas, pasti tukang service jam tangan di Padalarang. Mba-mba berbaju Timnas ketat dan ber-celana blue jeans hitam dengan dandanan menor seolah “bedak adalah hidupku, lipstick adalah nafasku” pasti debt collector sebuah asuransi. Dan mas-mas berjaket kulit lusuh di deket pintu otomatis bisa dipastikan copet (tapi bawa helm. Ah gampang, kalo bukan copet ya berarti tukang ojeg. sip)! Kereta berjalan dinamis, semakin cepat, aku merasa ini Shinkansen, oh tidak, aku mungkin terlemapr ke Jepang, mungkin yang tadi kumasuki bukanlah toilet tapi mesin waktu, oh, oh, tidak, oh, tolong aku, Miyabi (Ya, Ya, Ya..I know, I’m talking sh*it again). Di dalam sini sepi tanpa ada percakapan, semua orang sibuk dengan dunianya sendiri. Kereta terus berjalan menembus Ciroyom, Andir, dan Cimindi sebelum kemudian berhenti di Cimahi. Saya buka facebook (lagi), sekadar nge-cek notif, tapi tidak ada satu pun. Padahal sudah tiga hari ini saya tidak buat status ataupun komen di post siapapun, aneh memang. Penjual Tahu Sumedang, Minuman dingin, dan snack hanya menawarkan seadanya seperti yang “nasteung” karena selain penumpangnya sedikit, mereka juga sudah berapa kali bulak balik dan tidak seorang pun melirik dagangannya. Maaf, kami komuter yang sadar sarapan pagi, bukan tukang jajan. *tapi mungkin jika ada Gehu, okelah, bisa dipertimbangkan.
Kereta yang saya naiki ini tidak seperti KRD Ekonomi, yang penuh berdesakan, karena memang KRD Ekonomi menampung penumpang baik yang memiliki karcis (sadar) maupun yang tidak memiliki karcis(sarap), yang sarap itu mengantongi sebuah jampi: ATOS PA, TADI!, jadi saat kondektur menanyakan karcis, tinggal jawab itu saja, niscaya aman. Juga pembauran antara penjual asongan, pengamen soloist, baik yang nge-lem Aibon ataupun yang tidak, serta pengamen keroyokan (biasanya di sekitaran stasiun Andir. Sekali ngamen mereka biasanya berkelmpok antara 4 orang sampai 11.000 orang!*Hell dude, you may believe in what I’ve said. It’s up to you!), tukang sapu berbaju Bob Marley dan memang mirip karena gimbal dan tahi lalat di jidat, tukang nyemprotin Bayfresh bermuka tamak, tukang pulsa keliling yang rada banci, tukang kacamata ceng-dem yang sok gaya, tukang jepit rambut warna-warni seribu tiga (mengincar anak-anak SMP paruh baya yang sedang labil dalam memilih), tukang Tahu (pastinya), tukang apel, jeruk, bahkan sales kriditan motor Honda pun ada, what the…. Kereta ini, aduh (maaf) sangat lambat sekali mungkin jika diibaratkan seperti modem saya yang habis kuota dan belum di isi sampai si operator dengan rajinnya sms tiap pagi mengingatkan “maaf kuota telah habis, segera isi ulang. 50.000 untuk 1 GB.”, ah bikin emosi saja. Tapi, Kereta yang sedang saya tumpangi ini lebih cepat dan memang nyaman karena pedagang hanya ada 3 atau 4 orang saja dan itu resmi loh, punya seragam dan ID juga. Kereta ini hanya berhenti di beberapa stasiun saja. Dari stasiun Bandung menuju stasiun Cimahi hanya memerlukan waktu 10-15 menit saja.
Yesss…akhirnya sampai juga.

********
Saya datang ke Cimahi untuk menafkahi diri saya sendiri dan mungkin beberapa orang yang ditakdirkan bertemu saya lalu diberi sedikit dari apa-apa yang telah saya dapat. Di Cimahi, saya hanya menghabiskan waktu beberapa jam saja sampai agak sore. Selebihnya pulang ke Dago, dan bercengkrama lagi dengan imajinasi liar saya yang tak karuan ujung tungtungnya.
Pulang dari kampus, saya kembali ke Stasiun Cimahi mengantri tiket pulang menuju Bandung. Agak santai, karena ibu kosan tidak mungkin juga meminta saya datang tepat waktu (terkecuali ibu kost menginginkan saya jadi menantunya. Tapi ah, sulit. Meski anaknya memang cantik, tapi saya toh tidak pernah siap memiliki mertua Robocop dan Medusa dalam satu paket!) kembali duduk di jejeran kursi Jalur 1 stasiun Cimahi. Mendung, dan mungkin akan hujan. Entah hujan radiasi dari Jepang atau hujan sianida sintetis kiriman Neo-Hitlerism dari German sana yang salah sasaran. Di sebelah saya duduk berdampingan dua lelaki tuna netra yang tengah asyik membicarakan istrinya masing-masing yang katanya sangat sempurna bagi mereka, mau menerima mereka apa adanya dan juga menyediakan keperluan pencarian nafkah (mengamen, red.). Sungguh, wanita jenis apakah yang bisa menerima lelaki seperti itu? Apa yang wanita tersebut harapkan dari para lelakinya? Ungkapan CINTA ITU BUTA sudah bukan jamannya lagi. Kalo Cinta itu Buta, mengapa ada lingerie dan bikini? Tapi itulah Maha Adilnya Tuhan menciptakan lautan beserta daratannya dan juga isinya (lelaki dan perempuan yang saling berpasangan). Saya sepertinya harus belajar ikhlas dan bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Mereka lalu pulang dan sekarang sepi lagi, andai Nurdin Halid datang kemari, pasti rame banyak massa membawa spanduk, “TURUNKAN NURDIN HALID!!HIDUP PSSI dan semoga Indonesia juara PING PONG!” Sekarang hanya ada lagu Paramore “The Only Exception” dari Hp saya dan sebuah celah kecil di kepala saya yang kembali menampilkan slide potret manehna, D’oh!!help me Homer J. Simpsons!!!!
Kereta datang perlahan dari Padalarang membawa beberapa biji, uhm, orang manusia lunglai dari tempatnya bekerja. Saya duduk sendiri di pojokan dekat sambungan kereta. Orang-orang terlihat diam dengan mata layu menerawang ke luar jendela, entah apa yang dipikirkan, mungkin hutang, muka sangar sang bossnya, atau mungkin memikirkan selingkuhan yang kepergok selingkuh dengan selingkuhannya? Rumit sekali hidup mereka. Sementara saya, terus tersenyum sumbang membayangkan seseorang ditemani Heartbreak Warfare milik John Mayer. Sesekali minum, lalu diam lagi, senyum lagi, minum lagi dan bersin hingga sampai kram hidung saya, lalu kereta mengurangi kecepatannya dan tibalah saya di stasiun Bandung hampir sore, dan tetap mendung namun tak ada sianida sintetis dan reaksi nuklir. Membayangkan kalo itu terjadi, di Cimahi saya masih manusia, sampai Bandung sudah jadi Mutan Toke. Gusti….
Keluar Stasiun, ada yang menyita mata saya, dia adalah seorang nenek jompo telah renta dan hampir bungkuk yang ternyata baru saya sadari bahwa sedari tadi pagi saat saya datang berpeluh kesang sampai sekarang saya tiba berkeluh kesah dari sebuah pekerjaan di waktu yang sesore ini, beliau masih menjajakan SUMBU KOMPOR di depan Stasiun Hall (Timur). Sampai setua inikah beliau harus menafkahi dirinya dan mungkin keluarganya? Sampai sesore inikah beliau harus berdiri menjajakan sumbu kompor yang mungkin buat sebagian orang sangat tidak penting? Tapi beliau tidak meminta-minta seperti sebayanya yang sama-sama kurang beruntung. Terlihat dia masih semangat menjajakan sumbu kompor ke setiap orang yang lewat di depannya sambil tersenyum ramah. Bukan hanya 1 atau 2 plastik yang dia bawa, tapi beberapa plastik yang menggunung belum terjual sampai sesore ini. Dia membawa sebotol air putih dan sebungkus nasi yang tergeletak begitu saja tidak terbungkus rapi. Saya duduk menunggu angkot yang mungkin lewat, sekalian istirahat. Sepertinya, sampai sesore ini tidak ada satupun sumbu kompor yang terjual (terima kasih kepada bapak-bapak yang telah meng-konversi minyak tanah ke gas). Si nenek itu kemudian duduk dan menyimpan sumbu kompornya selagi menunggu rombongan orang yang lewat berikutnya. Seyakin itukah beliau menjajakan sumbu kompor di tengah konversi? Sehebat apakah beliau akan bertahan dengan hal itu? Disini ternyata ada sisi kehidupan unik yang sangat berguna bagi kehidupan saya. Kehidupan saya selalu di unggah dan di unduh oleh kehidupan orang lain, oleh kehidupan sebelumnya dan oleh kehidupan yang akan datang. Si nenek terlihat membuka botol minumannya, lalu meminumnya dengan perlahan. Bekalnya dibuka, lalu mulai mengambil nasi yang bukan ukuran porsi saya. Nasi, benar-benar nasi, tanpa apapun, hanya nasi yang sudah hampir kering. Matanya nanar entah memikirkan apa. Tangan lunglainya menyuapkan secuil nasi ke dalam mulutnya yang tak lagi bergigi. Dikunyah seadanya lalu didorong air minum, berhenti sebentar lalu mengambil sesuatu dari kantong plastik merah yang ternyata beberapa obat generic terbungkus plastic obat berwarna biru. Ah, lengkap sekali hari ini. Pagi terburu-buru, siang berpanas peluh, dan sore harus saya habiskan melihat si nenek itu berjuang. Tapi beranjak pun saya enggan, masih terus berfikir tentang bahan material pembentuk semangat si nenek itu. Langit makin pekat, campuran langit sore dan mendung. Sudahlah, saya bergegas pulang dan sejauh mata memandang, si nenek itu masih terus berdiri menjajakan sumbu kompor ajaibnya yang entah sampai kapan akan terjual, dan entah pukul berapa beliau akan pulang atau mungkin juga tidak.
Dan diantara rentetan kejadian hari ini, Pak Sore lah yang memenangkan hati saya untuk berfikir lebih jernih tentang kehidupan. Memang ada kalanya saya terkekeh setengah mati bersama teman-teman, ada kalanya saya juga diam sendirian di dalam kamar memikirkan sesuatu atau seseorang, dan ada kalanya melakukan keduanya secara bersamaan (tertawa dengan orang yang selalu saya pikirkan saat sendirian. Sebuah paket hemat). Yang tengah jadi trending topic di otak saya adalah “Who are you with the unforgettable face and unpredictable personality?” Tapi setelah pengalaman yang saya indrai sendiri sore ini, saya menyimpulkan bahwa yang terpenting adalah hari-hari saya tidak hanya dipenuhi oleh perasaan yang itu-itu saja. Melulu tentang mendapatkan perhatian seseorang adalah sebuah kengerian yang terselimuti canda lalu diumbar dengan indah demi mendapatkan sebuah kenyamanan meski cenderung dilebih-lebihkan agar saat itu menjadi menyenangkan. It leaves you a whole exuberance and puts you in the mirror, then you’ll say “God, give me an extra time. Keep the day bright!”, tapi kalo kata Malique n d’esssential sih “Buka mata, hati, telinga..sesungguhnya masih ada yang lebih penting dari sekadar kata cinta! Yang kau inginkan tak selalu yang kau butuhkan, memang yang paling penting cobalah untuk membuka mata, hati, telinga…!”
Welcome to the real life. Apa yang salah dengan lagu “Carnival”-nya The Cardigan saat dinyanyikan sang gitaris? Ah, dengarkan sajalah dan kamu akan tahu itu. Sangat tercium aroma Reverse psychology sedang mendekonstruksi semuanya. Semua hal yang berkaitan dengan hati akan sangat relative, subjective dan cenderung irrational. Ketika kamu punya logika, namun percuma saja, itu mati. Why Everything Is Relative—Even When It Shouldn't Be? (Dan Ariely).

Dan inilah akhir sebuah cerita tak tersambungkan antara KRD, Selasa, Sumbu Kompor, lagu Paramore dan penyanyi cover versionnya yang sangat menginspirasi saya belakangan ini. : )

The fact is:
1.      Kereta Rel Diesel Baraya Geulis memang keren buat para komuter.
2.      Saya memang ke Cimahi seminggu sekali dan memakai jasa transportasi kereta.
3.      Ibu penjual Sumbu Kompor memang ada, dan masih suka menjajakan dagangannya di depan St. Hall gerbang Timur. (jika ada rezeki tambahan, berbagilah sedikit, teman-teman! juga buat adik-adik para penjaja Cowet Batu dan Mutunya di dekat Riau Junction.)
4.      What I’m gonna do when the best part of me is always you?
5.      Hidup saya telah sedang menyenangkan Selasa itu : )


No comments:

Post a Comment