Anyissss
telat!! Berangkat terlalu siang make angkot Stasion-Dago mah sami sareng
memacetkan diri di Cikapayang, Dukomsel dan BIP! Belum lagi pas turun angkot, kudu
jalan kaki dari bawah jembatan penyebrangan-yang pas di jalan Stasiun Timur
menuju Stasiun Hall-karena si angkot sekarang tidak diperbolehkan masuk sampai
area stasiun. 10 menit jalan kaki, baju lembab berhambur keringat, hah heh hoh
ga puguh dan injury time membeli tiket pastinya. Buru-buru beli tiket karena KRD
Patas Baraya Geulis biasanya on time. But ah, yessss, I was saved by the
Peron-hero who said that the train was delayed for 10 minutes, Alhamdulillah,
amin (mungkin jika diperkenankan saya akan sukuran 3 hari 3 malam di dekat
peron atas keterlambatan ini. Well, shall I continue the story??). Langsung
masuk Stasiun dan duduk di kursi jalur 2 sambil mengeja nafas yang
terengah-engah bak ibu-ibu hamil tengah bukaan 12 disuruh push-up. Mencari Aqua
(okay, air mineral. Tapi merknya Aqua) di dalam tas, lalu menenggaknya dengan
penuh birahi beberapa milliliter, dan yah, it was terrific Tuesday!! Buka hape,
cek facebook bisi ada notif, wall atau inbox. Ada message ternyata, sebuah
klarifikasi terkeren yang pernah saya terima dari seorang perempuan. Sekalian puter
mp3 juga biar tenang dan memposisikan kedudukan di kekursian agar ke-cool-an
menyebar ke seluruh stasiun biar para penumpang lain merhatiin. (Dude, why you
so serious, huh??)
Kereta
datang, si Kuning-Biru yang ditunggu ratusan ribu, uhm, puluhan ribu deh, uhm,
ribuan ketang, uhm, no, yah, well, hanya beberapa gelintir orang dengan
orientasi yang berbeda-beda di benak mereka. Ada perempuan ber-seragam cokelat dengan
atribut PEMKOT Uganda (ah, bukan koq, bukan Bandung) serta ber-nametag hitam di
dadanya, pasti dia sedang pura-pura sakit dan bilang mau cek ke Santosa padahal
bolos. Si Bapa di ujung sana yang berkemeja putih, berdasi biru dan membawa tas
kulit yang dahinya berkerut membaca koran Kompas, pasti tukang service jam
tangan di Padalarang. Mba-mba berbaju Timnas ketat dan ber-celana blue jeans
hitam dengan dandanan menor seolah “bedak adalah hidupku, lipstick adalah
nafasku” pasti debt collector sebuah asuransi. Dan mas-mas berjaket kulit lusuh
di deket pintu otomatis bisa dipastikan copet (tapi bawa helm. Ah gampang, kalo
bukan copet ya berarti tukang ojeg. sip)! Kereta berjalan dinamis, semakin cepat,
aku merasa ini Shinkansen, oh tidak, aku mungkin terlemapr ke Jepang, mungkin
yang tadi kumasuki bukanlah toilet tapi mesin waktu, oh, oh, tidak, oh, tolong
aku, Miyabi (Ya, Ya, Ya..I know, I’m talking sh*it again). Di dalam sini sepi
tanpa ada percakapan, semua orang sibuk dengan dunianya sendiri. Kereta terus berjalan
menembus Ciroyom, Andir, dan Cimindi sebelum kemudian berhenti di Cimahi. Saya
buka facebook (lagi), sekadar nge-cek notif, tapi tidak ada satu pun. Padahal
sudah tiga hari ini saya tidak buat status ataupun komen di post siapapun, aneh
memang. Penjual Tahu Sumedang, Minuman dingin, dan snack hanya menawarkan
seadanya seperti yang “nasteung” karena selain penumpangnya sedikit, mereka
juga sudah berapa kali bulak balik dan tidak seorang pun melirik dagangannya. Maaf,
kami komuter yang sadar sarapan pagi, bukan tukang jajan. *tapi mungkin jika
ada Gehu, okelah, bisa dipertimbangkan.
Kereta
yang saya naiki ini tidak seperti KRD Ekonomi, yang penuh berdesakan, karena
memang KRD Ekonomi menampung penumpang baik yang memiliki karcis (sadar) maupun
yang tidak memiliki karcis(sarap), yang sarap itu mengantongi sebuah jampi:
ATOS PA, TADI!, jadi saat kondektur menanyakan karcis, tinggal jawab itu saja,
niscaya aman. Juga pembauran antara penjual asongan, pengamen soloist, baik
yang nge-lem Aibon ataupun yang tidak, serta pengamen keroyokan (biasanya di sekitaran
stasiun Andir. Sekali ngamen mereka biasanya berkelmpok antara 4 orang sampai
11.000 orang!*Hell dude, you may believe in what I’ve said. It’s up to you!),
tukang sapu berbaju Bob Marley dan memang mirip karena gimbal dan tahi lalat di
jidat, tukang nyemprotin Bayfresh bermuka tamak, tukang pulsa keliling yang
rada banci, tukang kacamata ceng-dem yang sok gaya, tukang jepit rambut
warna-warni seribu tiga (mengincar anak-anak SMP paruh baya yang sedang labil
dalam memilih), tukang Tahu (pastinya), tukang apel, jeruk, bahkan sales
kriditan motor Honda pun ada, what the…. Kereta ini, aduh (maaf) sangat lambat
sekali mungkin jika diibaratkan seperti modem saya yang habis kuota dan belum
di isi sampai si operator dengan rajinnya sms tiap pagi mengingatkan “maaf
kuota telah habis, segera isi ulang. 50.000 untuk 1 GB.”, ah bikin emosi saja.
Tapi, Kereta yang sedang saya tumpangi ini lebih cepat dan memang nyaman karena
pedagang hanya ada 3 atau 4 orang saja dan itu resmi loh, punya seragam dan ID
juga. Kereta ini hanya berhenti di beberapa stasiun saja. Dari stasiun Bandung
menuju stasiun Cimahi hanya memerlukan waktu 10-15 menit saja.
Yesss…akhirnya
sampai juga.
********
Saya
datang ke Cimahi untuk menafkahi diri saya sendiri dan mungkin beberapa orang
yang ditakdirkan bertemu saya lalu diberi sedikit dari apa-apa yang telah saya
dapat. Di Cimahi, saya hanya menghabiskan waktu beberapa jam saja sampai agak
sore. Selebihnya pulang ke Dago, dan bercengkrama lagi dengan imajinasi liar
saya yang tak karuan ujung tungtungnya.
Pulang
dari kampus, saya kembali ke Stasiun Cimahi mengantri tiket pulang menuju
Bandung. Agak santai, karena ibu kosan tidak mungkin juga meminta saya datang
tepat waktu (terkecuali ibu kost menginginkan saya jadi menantunya. Tapi ah,
sulit. Meski anaknya memang cantik, tapi saya toh tidak pernah siap memiliki
mertua Robocop dan Medusa dalam satu paket!) kembali duduk di jejeran kursi
Jalur 1 stasiun Cimahi. Mendung, dan mungkin akan hujan. Entah hujan radiasi
dari Jepang atau hujan sianida sintetis kiriman Neo-Hitlerism dari German sana
yang salah sasaran. Di sebelah saya duduk berdampingan dua lelaki tuna netra yang
tengah asyik membicarakan istrinya masing-masing yang katanya sangat sempurna
bagi mereka, mau menerima mereka apa adanya dan juga menyediakan keperluan
pencarian nafkah (mengamen, red.). Sungguh, wanita jenis apakah yang bisa
menerima lelaki seperti itu? Apa yang wanita tersebut harapkan dari para
lelakinya? Ungkapan CINTA ITU BUTA sudah bukan jamannya lagi. Kalo Cinta itu
Buta, mengapa ada lingerie dan bikini? Tapi itulah Maha Adilnya Tuhan
menciptakan lautan beserta daratannya dan juga isinya (lelaki dan perempuan
yang saling berpasangan). Saya sepertinya harus belajar ikhlas dan bekerja keras
untuk mendapatkan sesuatu. Mereka lalu pulang dan sekarang sepi lagi, andai
Nurdin Halid datang kemari, pasti rame banyak massa membawa spanduk, “TURUNKAN
NURDIN HALID!!HIDUP PSSI dan semoga Indonesia juara PING PONG!” Sekarang hanya ada
lagu Paramore “The Only Exception” dari Hp saya dan sebuah celah kecil di
kepala saya yang kembali menampilkan slide potret manehna, D’oh!!help me Homer
J. Simpsons!!!!
Kereta
datang perlahan dari Padalarang membawa beberapa biji, uhm, orang manusia
lunglai dari tempatnya bekerja. Saya duduk sendiri di pojokan dekat sambungan
kereta. Orang-orang terlihat diam dengan mata layu menerawang ke luar jendela,
entah apa yang dipikirkan, mungkin hutang, muka sangar sang bossnya, atau
mungkin memikirkan selingkuhan yang kepergok selingkuh dengan selingkuhannya?
Rumit sekali hidup mereka. Sementara saya, terus tersenyum sumbang membayangkan
seseorang ditemani Heartbreak Warfare milik John Mayer. Sesekali minum, lalu
diam lagi, senyum lagi, minum lagi dan bersin hingga sampai kram hidung saya,
lalu kereta mengurangi kecepatannya dan tibalah saya di stasiun Bandung hampir
sore, dan tetap mendung namun tak ada sianida sintetis dan reaksi nuklir.
Membayangkan kalo itu terjadi, di Cimahi saya masih manusia, sampai Bandung
sudah jadi Mutan Toke. Gusti….
Keluar
Stasiun, ada yang menyita mata saya, dia adalah seorang nenek jompo telah renta
dan hampir bungkuk yang ternyata baru saya sadari bahwa sedari tadi pagi saat
saya datang berpeluh kesang sampai sekarang saya tiba berkeluh kesah dari
sebuah pekerjaan di waktu yang sesore ini, beliau masih menjajakan SUMBU KOMPOR
di depan Stasiun Hall (Timur). Sampai setua inikah beliau harus menafkahi
dirinya dan mungkin keluarganya? Sampai sesore inikah beliau harus berdiri
menjajakan sumbu kompor yang mungkin buat sebagian orang sangat tidak penting?
Tapi beliau tidak meminta-minta seperti sebayanya yang sama-sama kurang
beruntung. Terlihat dia masih semangat menjajakan sumbu kompor ke setiap orang
yang lewat di depannya sambil tersenyum ramah. Bukan hanya 1 atau 2 plastik
yang dia bawa, tapi beberapa plastik yang menggunung belum terjual sampai
sesore ini. Dia membawa sebotol air putih dan sebungkus nasi yang tergeletak
begitu saja tidak terbungkus rapi. Saya duduk menunggu angkot yang mungkin
lewat, sekalian istirahat. Sepertinya, sampai sesore ini tidak ada satupun
sumbu kompor yang terjual (terima kasih kepada bapak-bapak yang telah
meng-konversi minyak tanah ke gas). Si nenek itu kemudian duduk dan menyimpan
sumbu kompornya selagi menunggu rombongan orang yang lewat berikutnya. Seyakin
itukah beliau menjajakan sumbu kompor di tengah konversi? Sehebat apakah beliau
akan bertahan dengan hal itu? Disini ternyata ada sisi kehidupan unik yang
sangat berguna bagi kehidupan saya. Kehidupan saya selalu di unggah dan di
unduh oleh kehidupan orang lain, oleh kehidupan sebelumnya dan oleh kehidupan
yang akan datang. Si nenek terlihat membuka botol minumannya, lalu meminumnya
dengan perlahan. Bekalnya dibuka, lalu mulai mengambil nasi yang bukan ukuran
porsi saya. Nasi, benar-benar nasi, tanpa apapun, hanya nasi yang sudah hampir
kering. Matanya nanar entah memikirkan apa. Tangan lunglainya menyuapkan secuil
nasi ke dalam mulutnya yang tak lagi bergigi. Dikunyah seadanya lalu didorong
air minum, berhenti sebentar lalu mengambil sesuatu dari kantong plastik merah
yang ternyata beberapa obat generic terbungkus plastic obat berwarna biru. Ah,
lengkap sekali hari ini. Pagi terburu-buru, siang berpanas peluh, dan sore
harus saya habiskan melihat si nenek itu berjuang. Tapi beranjak pun saya
enggan, masih terus berfikir tentang bahan material pembentuk semangat si nenek
itu. Langit makin pekat, campuran langit sore dan mendung. Sudahlah, saya
bergegas pulang dan sejauh mata memandang, si nenek itu masih terus berdiri
menjajakan sumbu kompor ajaibnya yang entah sampai kapan akan terjual, dan
entah pukul berapa beliau akan pulang atau mungkin juga tidak.
Dan
diantara rentetan kejadian hari ini, Pak Sore lah yang memenangkan hati saya
untuk berfikir lebih jernih tentang kehidupan. Memang ada kalanya saya terkekeh
setengah mati bersama teman-teman, ada kalanya saya juga diam sendirian di
dalam kamar memikirkan sesuatu atau seseorang, dan ada kalanya melakukan
keduanya secara bersamaan (tertawa dengan orang yang selalu saya pikirkan saat
sendirian. Sebuah paket hemat). Yang tengah jadi trending topic di otak saya
adalah “Who are you with the unforgettable face and unpredictable personality?”
Tapi setelah pengalaman yang saya indrai sendiri sore ini, saya menyimpulkan
bahwa yang terpenting adalah hari-hari saya tidak hanya dipenuhi oleh perasaan
yang itu-itu saja. Melulu tentang mendapatkan perhatian seseorang adalah sebuah
kengerian yang terselimuti canda lalu diumbar dengan indah demi mendapatkan
sebuah kenyamanan meski cenderung dilebih-lebihkan agar saat itu menjadi menyenangkan.
It leaves you a whole exuberance and puts you in the mirror, then you’ll say
“God, give me an extra time. Keep the day bright!”, tapi kalo kata Malique n
d’esssential sih “Buka mata, hati, telinga..sesungguhnya masih ada yang lebih
penting dari sekadar kata cinta! Yang kau inginkan tak selalu yang kau
butuhkan, memang yang paling penting cobalah untuk membuka mata, hati,
telinga…!”
Welcome to the real life. Apa
yang salah dengan lagu “Carnival”-nya The Cardigan saat dinyanyikan sang
gitaris? Ah, dengarkan sajalah dan kamu akan tahu itu. Sangat tercium aroma
Reverse psychology sedang mendekonstruksi semuanya. Semua hal yang berkaitan
dengan hati akan sangat relative, subjective dan cenderung irrational. Ketika kamu
punya logika, namun percuma saja, itu mati. Why Everything Is Relative—Even When It
Shouldn't Be? (Dan Ariely).
Dan inilah akhir sebuah cerita tak tersambungkan
antara KRD, Selasa, Sumbu Kompor, lagu Paramore dan penyanyi cover versionnya
yang sangat menginspirasi saya belakangan ini. : )
The fact is:
1.
Kereta Rel Diesel Baraya
Geulis memang keren buat para komuter.
2.
Saya memang ke Cimahi
seminggu sekali dan memakai jasa transportasi kereta.
3.
Ibu penjual Sumbu Kompor
memang ada, dan masih suka menjajakan dagangannya di depan St. Hall gerbang
Timur. (jika ada rezeki tambahan, berbagilah sedikit, teman-teman! juga buat
adik-adik para penjaja Cowet Batu dan Mutunya di dekat Riau Junction.)
4.
What I’m gonna do when
the best part of me is always you?
5.
Hidup saya telah sedang
menyenangkan Selasa itu : )
No comments:
Post a Comment